Sejarah MIXUE, Ice Cream Kekinian Pengisi Ruko Kosong
Mixue Ice Cream & Tea adana sebuah perusahaan waralaba yang menjual es krim sajian lembut dan minuman teh asal Zhengzhou, Henan, Tiongkok dan didirikan pada bulan Juni 1997. Hingga 2021, sebanyak 21.581 gerai Mixue telah beroperasi di Tiongkok dan sedikitnya 11 negara lainnya di Asia. Perusahaan ini sepenuhnya dimiliki oleh Zhang bersaudara.
Awal Berdirinya Mixue
Mixue Ice Cream & Tea didirikan oleh Zhang Hongchao. Dia menggeluti usaha ini penuh dengan kerja keras sejak 1997. Dalam membangun bisnis ini, Zhang Hongchao mengeluarkan modal awal sebesar 4.000 RMB yang pada tahun itu bernilai sekitar Rp7 juta, dimana untuk saat ini biayanya telah mencapai Rp 8 juta.
Dengan modal yang terbatas, Hongchao pun memanfaatkan barang-barang yang ada, seperti motor, meja putar, dan pemotong. Ketiga barang tersebut dirakit agar bisa beroperasi sebagai mesin serut. Adapun tiga produk utama yang ditawarkannya saat itu adalah es serut, es krim, dan smoothie. Setelah dirasa produk tersebut laris, Hongchaoi mulai menyediakan teh susu dalam menunya. Pada saat itu, tokonya diberi nama 'Cold Stream Shaved Ice' atau dalam bahasa Indonesia 'Es Serut Dingin'. Melalui bisnis ini, Hongchao meraup untung RMB 100 atau setara dengan Rp175.000 per hari. Pendapatan tersebut cukup memuaskan bagi Hongcho saat itu.
Sayangnya, gerai es krim pertamanya harus tutup karena pengaruh musim panas dan dingin. Barulah setahun kemudian, Zhang Hongchao membuka bisnis keduanya yang diberi nama Mixue Bingcheng yang berarti kastil es yang dibangun dengan salju manis. Bertahun-tahun berbagai tantangan telah dihadapi hingga akhirnya pada tahun 2006, Mixue menemukan tempatnya di pasaran. Ditahun itu, sejenis es krim dari Jepang dengan bentuk seperti obor mulai muncul di Zhengzhou, bertepatan dengan Olimpiade Beijing 2008. Es krim itu yang kini kita jenal dengan nama es krim cone. Akibatnya harga es krim yang semula satu atau dua yian telah meningkat lima hingga sepuluh kali lipat. Dari sanalah, ia menemukan peluang bisnis dan berhasil menciptakan formula es krim yang murah. Ia pun berhasil mengeluarkan produk es krim seharga 2 yuan atau setara Rp 4.000 disaat toko lain menjual hingga 10 yuan (Rp20.000). Bisnisnya pun berkembang pesat dan digandrungi banyak peminat kala itu.
Di tahun 2007, Hongchao mulai membuka franchise. Belasan toko Mixue baru dibuka tahun itu di provinsi Henan. Pada tahun 2008, Mixue telah memiliki 180 cabang dan terdaftar sebagai perusahaan. Usahanya terus berkembang dengan baik hingga pada tahun 2010, Mixue memutuskan untuk bekerja sama dengan Zhengzhou Baodao Trading Co., Ltd. untuk memperluas operasi waralaba di seluruh negeri Tiongkok. Kemudian ditahun 2012 dan 2014, Mixue juga gencar membangun pusat produksi dan logistiknya sendiri karena komitmennya untuk menawarkan produk dengan harga yang wajar. Hal ini dilakukan untuk menekan biaya produksi hingga 20 persen.
Mixue diam-diam menjadi merek bubble teaa tunggal terlaris di China, dengan pendapatan tahunan 6.5 miliar yuan (Rp13 triliun) dalam setahun. Di 2018, Hongchao akhirnya melakukan ekspansi besar-besaran ke berbagai negara seperti Vietnam, Singapura, Malaysia, hingga Indonesia. Pada awal 2021, bisnis ini diperkirakan berhasil meraih pendapatan sebanyak 20 miliar yuan atau setara Rp40 triliun, mengalahkan merk bubble tea premium lainnya.
Strategi Sukses Mixue
Harga Terjangkau
Sejak awal berdiri, Mixue telah menyasar sub-urban dengan harga dari 5-10 yuan per produk di China. Harga tersebut tergolong murah dibandingkan dengan kompetitornya, yakni merek Nayuki dan Heytea yang menjual dengan harga 10-15 yuan per produk. Di Indonesia sendiri, produk Mixue dijual dengan harga berkisar dari Rp8.000 hingga Rp22.000. Inilah salah satu alasan mengapa Mixue bisa berkembang karena produknya yang terjangkau oleh konsumen Indonesia.
Harga yang dijual miring atau bisa disebut dalam teori marketing penetration pricing. Dalam hal ini banyak yang dikorbankan mungkin bisa membakar uang di awal, mendapatkan untung sedikit atau tidak sama sekali, Strategi ini sangat biasa diterapkan hampir semua diperusahaan. Tetapi banyak brand yang habis besar-besaran diawal tetapi terhenti dipertengahan jalan dan berakhir bangkrut.
Tapi hal ini tidak berdampak pada Mixue, hal itu dipengaruhi 0leh banyaknya cabang yang dibuka sehingga semua pasar akan masuk dan terpenuhi, dengan begitu akan memerlukan banyak kebutuhan produksi. Menekan harga yang tinggi dengan kebutuhan produksi. Menekan harga yang tinggi dengan kebutuhan pembelian produksi berskala besar akan memberikan harga yang jauh lebih murah dibanding pembelian lebih sedikit atau berskala kecil. Kebtuhan tersebut bisa seperti dari bahan baju, kemasan, dan yang lainnya. Strategi ini juga digunakan oleh brand ternama lainnya yakni Indomaret dan Alfamart, terbukti bahwa harga dari produk yang ditawarkan sangaatlah bersaing.
Menggunakan model bisnis waralaba (franchise)
Pendiri Mixue, Zhang Hongchao memutuskan untuk membuka hak waralaba pada tahun 2007. Tahun itu, lusinan toko dibuka dengan cepat di provinsi Henan, tempat kantor ppusat berada. Setahun berselang, 2008, Mixue berkembang menjadi sebuah perusahaan dengan jumlah toko waralaba melebihi 180. Pada 2010, Mixue memilih untuk bekerja sama dengan ZhengZhou Baodao Trading Co., Ltd. untuk mengembangkan waralaba di seluruh negeri. Keputusan ini efektif dalam meningkatkan visibilitas dan pengaruh perusahaannya. Waralabanya pun semakin berkembang. Mengutip dari berbagai sumber, franchise Mixue berkisar pada Rp700 juta hingga Rp900 juta. Harga tersebut mencakup biaya investasi dari awal pembukaan hingga kerja sama berlangsung selama kedua pihak menyetujuinya.
Daerah Strategis
Lokasi yang setiap outlet sangat strategis dan ramai penduduk, hal itu ditujukan karena target yang dituju pasti akan sesuai dan tepat sasaran, beberapa outlet juga ada yang bertempatan di tempat pendidikan seerti tempat perkuliahaan, SMP, SMA, dan yang lainnya. Strategi ini juga menyerupai Indomaret dan Alfamart dengan menempatkan ditempat yang ramai penduduk dan mudah dijangkau oleh semua orang.
Ekspansi ke luar negeri dengan menyesuaikan kebudayaan setempat
Mixue mulai berekspansi ke luar negeri oada tahun 2018 dengan masuk ke pasar vietnam dan membuka toko luar ngeri pertammanya di Hanoi. Gaua dekorasi tokonya di luar negeri disesuaikan dengan lokasi dan unsur lokal setempat. Gayanya sederhana namun nyaman bagi pelanggan yang makan dan minum di tempat. Kini tokonya sudah lebih dari 500 toko di berbagai belahan duni.
Memanfaatkan media sosial dan word-of-mouth (WOM)
Salah satu alasan yang membuat Mixue viral adalah karena banyak konten tentang Mixue di media sosial. Mulai dari konten review produk Mixue, konten meme, sampai konten dengan menggunakanjingle Mixue. Dengan banyaknya konten tentang Mixue di media sosial, yang kemudian timbullah word-of-mouth (WOM). Mengingat sifat mayoritas masyarakat Indonesia yang FOMO, trik WOM tentang Mixue ini membuat audiens penasaran terhadap Mixue dan ingin ikut mencoba.
Branding yang mudah diingat
Salah satu usaha branding yang dilakukan Mixue adalah menggunakan jingle dan maskot. Jingle dengan lirik yang diulang-ulang dan maskot yang eye-catching membuat audience terus mengingat Mixue. Hal ini juga bisa dilakukan oleh brand milikimu. Tidak hanya terbatas pada jingle dan maskot, usaha branding laainnya seperti jargon atau slogan yang catchy dan mudah diingat juga dapat diterapkan.
Dengan semua strategi ini bisa dikatakan sangat berhasil dalam membangun sebuah brand yang baru di Indonesia, tentu banyak pertanyaan yang muncul seberapa kuat konsistensi perusahaan ini, dan berapa lama perusahaan ini akan tetap tumbuh dan berkembang. Jika perusahaan ini dapat beradaptasi dalam sistem berkelanjutan yang didirikan di Indonesia dan bisa menggunakan teknologi yang efesien dan tepat dalam penanganan SOP, training, branding, finance, dan back office lainnya, tentu ini akan menjadi tolak ukur yang