Fenomena Loud Luxury VS Quiet Luxury, Kamu Tim yang Mana?

Kata "mewah" atau "luxury" seringkali digunakan secara berlebihan dalam masyarakat modern untuk menggambarkan segala sesuatu yang dihubungkan dengan produk-produk atau merek yang mahal dan bergengsi. Dalam industri fashion, dunia yang diperintah oleh hierarki merek, kategorisasi kemewahan tetap relatif konsisten. Namun, estetika telah bergeser selama beberapa dekade. Konsep mewah sekarang berkembang menjadi dua kategori utama, yakni quiet luxury dan loud luxury

Istilah quiet luxury atau loud luxury mungkin bukan isilah yang familiar di telinga banyak orang. Namun, jika kita mendenga atau membaca tentang jenama-jenama fashion terkenal dengan produk-produk yang mahal seperti Chanel, mungkin kita akan langsung berpikir mengenai kesan mewah dan eksklusif dari brand tersebut.

Apa yang dimaksud dengan Luxury Brand?

Dikutip dari Retail Dogma, luxury brand adalah merek-merek yang memiliki ciri kualitas tinggi, eksklusif, dan harga tinggi. Luxury brand ini muncul di banyak sektor produk dan perdagangan, khususnya hotel, otomotif, dan barang-barang ritel. Adapun penyebab sebuah brand mendapatkan statis menjadi luxury brand umumnya disebabkan karena beberapa faktor yaitu eksklusifitas, mutu tinggi, dan kelangkaan. Karena sifatnya yang eksklusif dan langka, maka barang-barang dari brand-brand ini seringkali diburu orang yang ingin menunjukkan status sosial tinggi dengan memiliki barang-barang tersebut.

Brand-brand mewah ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu quiet luxury brand dan loud luxury brand berdasarkan nilai-nilai dan kesan yang ingin ditonjolkan oleh masing-masing jenis tersebut.

Loud Luxury VS Quite Luxury

Sesuai namanya, loud luxury adalah brand fashion yang menampilkan logo khas dari produk tersebut sehingga ketika terliihat, orang-orang bisa langsung menangkap brand dari produk tersebut. Kita bisa mudah mengetahui produk dari Louis Vuitton dengan logo LV mereka yang khas, atau Gucci dengan tulisan GUCCI khas di produk pakaian atau tas mereka. Mengenakan produk yang memiliki statement loud dalam loud luxury ini memiliki kaitan erat dengan upaya seseorang dalam menunjukan status sosial mereka. Menurut studi yang dipublilkasi di The Journal of Business Research, pecinta loud luxury umumnya membeli produk kelas atas untuk menunjukkan nilai kekayaan mereka. Karenanya, mereka lebih suka memakai produk loud luxury yang mampu menunjukkan kalau barang yang mereka pakai memang mahal dan mendapatkan pengakuan orang lain atas status sosial mereka. Kaum ini bahkan kerap diasosiasikan sebagai orang kaya baru (OKB) yang membutuhkan pakaian mewah berlogo untuk menciptakan identitas dan berupaya menjadi bagian dari kelas sosial tertentu. Meski terkadang melakukannya secara tidak sadar.

Kebalikan dari loud luxury, quiet luxury justru menawarkan produk mereka secara lebih halus dan tersirat. Kekuatan dari brand quite luxury tidak ditampilkan dengan logo brand yang tampak menonjol secara tersurat, mereka menampilkannya melalui kualitas dari bahan yang digunakan, keindahan tampilan dari suatu produk, hingga carftsmanship. Sesuai namanya juga, quiet luxury juga melakukan pemasaran dalam platform dan medium tertentu. Mereka melakukannya secara elegan untuk dapat menyasar kalangan kelas tertentu yang memiliki selera yang spesifik sehingga prmosinya cenderung dilakukan dalam medium khusus bahkan bersifat tertutup. Misalnya seperti Bottega Veneta, Lemaire, juga The Row yang menjual kemeja putih plos dengan harga US $1000. Brand-brand ini idka memamerkan koleksi mereka di pekan modele di seluruh dunia, juga tidak berinvestasi dalam kampanye pemasaran besar. Hanya mereka yang memiliki mata terlatih atau yang termasuk dalam lingakaran kaya raya yang akan mengenali produk-produk yang termasuk dalam kategori quiet luxury.

Mengenal Luxury Marketing

Penetapan jenis fashion antara loud dan quiet luxury ini digunakan dalam strategi marketing agar bisa menyentuh target konsumen yang tepat. Dalam luxury fashion, terdapat model marketing yang digunakan untuk membedakan persona pembeli berdasarkan keinginan dan kemampuan mereka dalam membeli barang. Model marketing ini disebut dengan The 4 Persona yang dicetuskan oleh Han, Nunes, Dreze. Model ini didasarkan pada bagaimana konsumen dapat di profilkan untuk pembbelian barang mewah menjadi 4 basis konsumen yang jelas: Patricia, Pervenus, Poseur, dan Proletar.

  • Patricia, dinamakan dari sebutan kelas berkuasa di zaman Romawi kuni, adalah golongan orang kaya yang merasa tidak harus secara vulgar menunjukkan kekayaan mereka lewat brand mewah dengan logo besar yang lantang. Mereka umumnya hanya ingin diasosiasikan dengan sesama kelas Patrician, salah satunya dengan cara memakai barang-barang yang hanya diketahui dan diapresiasi oleh sesama Patrician.

  • Parvenus, berasal dari kata Prancis "parvenir" yang artinya datang, sampai, atau sukses. Secara sederhana, mereka adalah golongan OKB yang sebetulkan tidak kalah kaya tapi dianggap kurang "selevel" dengan para Patrician. Parvenus mendambakan status yang sama dan ingin diterima oleh para Patrcian. Untuk itu, mereka lebih suka produk yang menunjukkan kalau barang yang mereka pakai memang mahal seperti produk-produk dengan logo besar-besar dan terpampang nyata.

  • Poseurs, berasal dari bahasa Prancis "poseur" untuk mendeskripsikan orang yang perilakunya sengaja untuk membuat orang lain impress, mereka ingin terlihat sebagai bagian dari kaum high class tapi tapi dengan isi dompet yang tidak sekaya Parvenus. Kaum Poseurs tak ragu untuk mengusung prinsip "fake it til' you make it" dan membeli produk KW demi bisa keep up dan social climbing ke kelas sosial di atasnya.

  • Proletarius, grup terakhir kaum proletarian yang berasal dari kata Latin "proletarius" yang artinya orang yang hartanya cuma garis keturunannya. Dalam studi marketing, grup ini merujuk pada kelas ekonomi menengah ke bawah yang tidak terlalu peduli pada hubungan antara brand dengan status sosial mereka dan bukan menjadi prioritas mereka.

Dari keempat golongan di atas, kaum Patrician umumnya lebih suka quiet luxurt karena mereka merasa tidak perlu membuktikan diri dengan memakai produk loud luxury yang secara gamblang menunjukkan kalau mereka memiliki uang. Sementara kaum Parvenus justru ingin menunjukkan kalau mereka memiliki uang dengan memakai produk dengan brand yang semua orang sudah tahu kalau itu adalah barang mewah.

Demikianlah penjelasan singkat tentang quiet luxury dan loud luxury. Baik loud luxury dan quiet luxury memiliki ciri khas dan keunggulan masing-masing yang disesuaikan dengan preferensi konsumen serta perkembangan zama yang turut mempengaruhi tren. Perbedaan ini juga bisa membantu konsumen untuk memilih brand yang tepat sesuai kebutuhan, baik kebutuhan yang didasarkann atas kualitas atau kebutuhan untuk mendapat pengakuan kelas sosial.

Previous
Previous

Bangun Hubunganmu Dengan Konsumen Dengan Cara Ini!

Next
Next

Tingkatkan Awareness Brand dengan Brand Ambassador, Apa Saja Tugasnya?